APA MACET HANYA JADI TRADEMARK JAKARTA AND KOTA-KOTA BESAR ?

Macet. Seolah udah jadi ‘makanan sehari-hari’ penduduk kota Jakarta dan kota-kota besar lain kayak Bandung, Surabaya, Medan, dll. Jalanan yang full dengan beraneka ragam kendaraan hampir pasti jadi pemandangan biasa yang tak asing lagi bagi penduduk disana. Mau pagi, siang, sore, malam,,,,Huh….kayaknya jalanan tuw gag ada matinya,,,,eh maksudnya,,,,gag ada sepinya ding….Hehehehe.

Mo kemana-kemana kita gag bisa buru2 atau mepet. Setidaknya kita harus lebih awal beberapa jam buat mastiin gag bakal telat. Coz segala sesuatunya gag bisa diprediksi. Kita gak bisa bilang dalam 30 menit, misalnya, udah bisa nyampe di skul. Kita juga gak bisa nentuin ‘durasi’ macet yang kita alami….Halah…halah….

Kalau bicara macet di Jakarta en kota-kota lainnya kayaknya mah udah biasa ya. Kayaknya udah basi juga malah jadi topic pembicaraan. Tapi, gimana kalau ternyata trademark macet ini udah menular ke kota-kota lain?

Pekanbaru, kota tercinta. Walaupun bukan tanah kelahiran, tapi dimana bumi dipijak disitu bayar pajak kan!!! Loh??? Gak nyambung ya?? Ya sudahlah, kita kembali ke topic.



Pekanbaru memang belum jadi kota sebesar kayak kota2 yang udah disebutin di atas. Tapi jangan salah lho, Pekanbaru sekarang udah sangat berkembang. Pembangunan-pembangunan skala besar banyak dilaksanakan di Ibukota Bumi Lancang Kuning ini. Kita bisa lihat sekarang di jantung kota terlihat betapa megahnya bangunan-bangunan tersebut. Jumlah penduduk juga terus bertambah. Hal ini menyebabkan masyarakat tentu membutuhkan kendaraan yang mendukung mobilitas. Kota Pekanbaru sepertinya belum siap dengan hal ini. Jalan-jalan yang dibangun tampaknya pula belum mampu menampung volume kendaraan yang terus bertambah. Bagaimana tidak? Tingkat perekonomian masyarakat Riau -umumnya berdomisili di Pekanbaru- cukup tinggi sehingga paling tidak sebuah dealer mobil ternama mampu menjual 20 unit mobil setiap minggunya. Coba kalkulaskian jumlah itu untuk 1 bulan, 1 tahun, 5 tahun, dan seterusnya. Berapa banyak mobil yang datang ke Pekanbaru? Tentu kita akan terkejut dengan hasil ini. Perlu diingat pula, quick count (penghitungan cepat) ini hanya mengacu pada penjualan satu dealer saja. Ingat, hanya 1 dealer. Di Pekanbaru tentu bukan hanya 1 dealer saja yang menjual mobil. Jika setidaknya saja ada 3 dealer mobil dengan jumlah penjualan yang relatif sama, tentu hasilnya lebih mengejutkan lagi. Mobil juga bukanlah satu-satunya kendaraan yang diburu oleh penduduk Pekanbaru. Motor yang notabenenya lebih murah dan irit dalam bahan bakar serta lebih fleksibel tentu juga merupakan buruan sebagian besar masyarakat Pekanbaru. Kita semua tentu tahu, paling tidak pernah melihat dan mendengar bahwa kini sangat gampang untuk membeli motor baik tunai maupun kredit. Prosesnya cukup cepat, misalnya dengan kredit, kita cukup menunjukkan KTP atau kartu identitas lainnya. Setelah itu, dengan menyetujui beberapa poin kesepakatan, motor yang kita inginkan sudah bisa dibawa pulang. Apalagi jika kita membayar tunai, hal tersebut tentu jauh lebih mudah. Untuk kredit saja, sekarang telah berjamuran agen-agen kredit yang bisa menolong kita dalam proses kredit.

Dengan proses yang begitu mudahnya, tentu tak disangkal lagi bahwa hampir seluruh penduduk telah memiliki setidaknya 1 sepeda motor. Sudah cukup?. Belum!!

Mungkin 1 sepeda motor di bayangan kita sudah cukup untuk mendukung mobilitas suatu keluarga. Tapi, kenyataannya, hal tersebut tidak relevan lagi dengan tuntutan dunia sekarang yang serba cepat. Coba bayangkan jika suatu keluarga terdiri dari 4 orang anggota keluarga (sesuai dengan program KB), yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 2 orang anak. Ayah, selaku kepala rumah tangga yang bertugas mencari nafkah tentu membutuhkan sepeda motor, lalu Ibu, yang meskipun hanya di rumah, tentu juga membutuhkan kendaraan untuk ke pasar atau untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah. Sampai disitu, kita tentu sadar bahwa minimal sebaiknya tersedia 2 unit sepeda motor untuk satu keluarga. Jika kembali dihitung, tentu hasilnya dua kali lipat dibandingkan dengan asumsi 1 keluarga dengan 1 sepeda motor. Itu belum termasuk dengan jumlah kendaraan milik anggota keluarga lain yang meskipun mungkin sebenarnya belum terlalu membutuhkannya. Anak SD dan SMP yang belum mengerti benar dengan peraturan lalu lintas dan cenderung emosinya labil kenyataannya kini telah dipercaya oleh orang tuanya untuk mengendarai sepeda motor bahkan mobil sendiri. Hal ini tentu makin memperparah kemacetan yang terjadi karena jumlah kendaraan di jalan yang semakin membludak.

Sebenarnya, kondisi semacam ini lumrah terjadi pada kota yang sedang berkembang. Ini terjadi karena perkembangan ekonomi tidak sebanding dengan pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Seperti dalam masalah kemacetan tersebut. Jumlah kendaraan yang bertambah dengan sangat cepat tidak dibarengi dengan pembangunan ruas jalan. Jalan Sudirman dan Jalan Tuanku Tambusai yang merupakan jalan protokol di Pekanbaru kini semakin sering terjadi kemacetan di jam-jam tertentu bahkan hampir setiap waktu. Jalan-jalan yang dulunya tidak terlalu padat, kini mulai penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan dan lebih parahnya lagi, jalan-jalan tersebut kini menjadi titik rawan kecelakaan, seperti Jalan Harapan Raya (Imam Munandar) dan Jalan Riau. Jalan-jalan tentunya harus semakin diperluas dan jalan-jalan baru juga seharusnya semakin banyak untuk mendukung kemajuan perekonomian kota. Namun hal itu tentu tidak mudah. Untuk memperluas dan membangun jalan bukanlah perkara yang mudah. Begitu banyak hal yang harus dilakukan pra maupun pasca pembangunanya. Dimulai dari proses tender, pembebasan lahan, menunggu proses pencairan dana, dan hal-hal lainnya yang tidak saya ketahui. Bukan berarti setelah pembangunanya masalah jadi selesai. Pemeliharaan jalan dan pertanggung jawaban proyek juga bukan hal yang mudah. Jadi, kita tidak bisa menuntut pemerintah terlalu banyak dalam hal ini. Karena pemerintah juga mempunyai segudang permasalahan lain yang harus ditangani dengan cepat. Demikian pula halnya dengan polisi, dalam hal ini polisi lalu lintas. Meskipun memang menjadi tanggung jawab Kepolisian untuk menjaga ketertiban lalu lintas, namun polisi tidak pula setiap waktu dapat kita harapkan untuk mengatasi macet.

Untuk itu, mulai sekarang, sudah selayaknya kita tidak hanya menjadi pelaku pasif, namun mulailah untuk berperan aktif dalam menyikapi permasalahan ini.

Hal-hal yang dapat kita lakukan, antara lain :

Q Mulailah untuk mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan.

Jika kita masih bisa berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan umum bukankah alangkah lebih baik kita untuk menghindari menggunakan kendaraan pribadi. Dari sisi biaya, tentu lebih murah dengan berjalan kaki atau naik kendaraan umum dibandingkan dengan harga minyak (BBM) yang harus kita keluarkan di tengah himpitan ekonomi akibat harganya yang melambung. Dari segi efektivitas juga demikian. Dengan berjalan kaki atau naik kendaraan umum, berarti kita telah mengurangi volume kendaraan di jalanan. Karena jika setiap orang mengendarai kendaraan pribadi tentu jumlah kendaraan sangat banyak dibandingkan dengan bila beberapa orang digabung dalam sebuah kendaraan umum. Hal ini jika dilakukan oleh semua orang tentu cukup signifikan menekan jumlah kendaraan yang menyebabkan kemacetan.

Lebih baik lagi jika pelajar seperti kita untuk menggunakan bus sekolah atau kendaraan lain yang disewakan untuk antar jemput ke sekolah. Selain relatif lebih aman dan biaya yang lebih murah, dengan bus sekolah ini kita juga diajarkan untuk tepat waktu dan dapat menjalin rasa kekeluargaan diantara teman-teman di bus.

Sebenarnya hal yang paling mendasar untuk kita lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi adalah gengsi atau pamor. Pelajar yang menggunakan kendaraan pribadi tentu merasa pamornya lebih tinggi dibandingkan mereka yang menggunakan kendaraan pribadi. Saya jadi teringat dengan cerita salah seorang teman. Dia bercerita tentang seorang siswa yang melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa. Hal yang cukup membanggakan bagi almamater kami namun sekaligus ironi. Karena dia yang sewaktu di Pekanbaru menggunakan mobil pribadi ternyata ketika di Pulau Jawa pergi kuliahnya hanya dengan berjalan kaki. Tentu bukan masalah materi, namun kita tahu bahwa kemacetan di kota-kota di Pulau Jawa sudah parah. Kemacetan ini tentu dapat membuat kita frustasi. Biaya yang kita keluarkan jika menggunakan kendaraan pribadi juga pastinya lebih membengkak. Belum lagi jika kita menggunakan tol yang tarifnya terus naik. Sementara itu, di Pulau Jawa, berjalan kaki atau naik kendaraan umum sudah biasa dan menjadi kebiasaan banyak orang.

Q Hindari pembelian kendaraan pribadi yang sebenarnya belum terlalu kita butuhkan.

` Meskipun secara materi kita mampu untuk membeli kendaraan pribadi, namun jika sebenarnya hal itu belum terlalu dibutuhkan, sebaiknya kita tidak membelinya. Bagi orang yang sudah bekerja, kendaraan pribadi tentu sangat dibutuhkan. Lagipula mereka telah bisa membiayai diri sendiri. Sedangkan bagi para pelajar, hal ini belum terlalu urgen (mendesak) karena kita juga masih dibiayai oleh orang tua.

Mungkin alasan utama orang tua untuk membelikan anak-anak mereka kendaraan sendiri adalah kesibukan mereka yang tidak memungkinkan untuk selalu antar jemput anaknya ke sekolah. Hal ini dapat dimengerti. Namun dampak dari hal ini cukup terasa. Sudah tak terhitung lagi jumlah kendaraan yang dirazia polisi yang merupakan milik pelajar yang tak memilki SIM (Surat Izin Mengemudi) karena belum cukup umur. Lalu, sudah banyak pula kecelakaan yang merenggut nyawa para pelajar. Kenakalan remaja juga banyak bersumber dari hal ini. Karena dengan memiliki kendaraan sendiri. Para pelaja menjadi bebas untuk pergi kemanapun mereka mau. Sehingga orang tua tidak bisa mengawasi anak dengan optimal

Q Bersikaplah disiplin dalam memarkirkan kendaraan.

Q Patuhi peraturan lalu lintas

Q Jika terjebak kemacetan, jangan mau menang sendiri atau egois dengan mengambil jalan yang seharusnya untuk kendaraan lain. Usahakan kita tetap teratur dalam berkendaraan. Ingat, semua orang juga tak ingin terjebak kemacetan dan setiap orang juga ingin cepat sampai ke tujuan.

Q Jika memungkinkan, mengapa kita tidak berperan aktif saja untuk mengatur kemacetan lalu lintas?. Ketika saya di Jalan Harapan Raya kemarin, saya cukup kagum dengan seorang bapak yang dengan baiknya mengatur kendaraan yang terjebak kemacetan akibat lampu lalu lintas yang padam. Beliau bukan seorang anggota polisi, beliau adalah anggota masyarakat yang sangat peduli dengan kondisi lingkungannya. Sungguh suatu pemandangan langka di tengah masyarakat kini yang cenderung individualisme.

_arsilina_

0 komentar:

Design by Blogger Templates